Kemiskinan : Suatu Yang Dibuat atau memang sudah nasib??
Kemiskinan seperti sudah mendarah daging dalam jiwa negeri ini. Kemiskinan tetap tinggi dari jaman kemerdekaan hingga era reformasi sekarang ini. Mungkin masyarakat bertanya-tanya, mengapa kita tetap miskin? sementara koes plus berkata di negeri ini penuh dengan kolam susu dan tongkat kayu menjadi tanaman. Sumber daya alam melimpah tampaknya bukan suatu jaminan kita menjadi negara yang sejahtera.
Data tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia sebesar 39,05 juta jiwa. Mungkin bagi penyembah setia data-data statistic hal tersebut tidaklah terlalu mengecewakan, mengingat hal tersebut hanya sekitar 17% dari total populasi. Namun, yang kita tidak boleh menutup mata bahwa sebenarnya banyak orang di luar sana yang benar-benar tidak mampu, namun belum terdata oleh BPS. Angka yang ditunjukkan hanyalah sebuah angka, seperti tingkat inflasi yang menjadi acuan makro dalam data perekonomian. Selama ini para ekonom selalu berbangga hati apabila angka inflasi turun dari tahun sebelumnya, misal dari 10% menjadi 6%. Angka tetapi itu hanyalah sebuah angka statistik yang tidak mencerminkan realita sesungguhnya. Sebagai contoh harga beras awalnya Rp. 100 lalu inflasi 10% menjadi Rp. 110, lalu pada akhir tahun berjalan tersebut harga beras menjadi Rp. 116,6 akibat inlasi 6%.
Bagi rakyat kecil, mereka tidak peduli apakah inflasi itu 10% atau 6%, mereka tidak peduli apakah pertumbuhan ekonomi itu berjalan pesat atau tidak, yang mereka rasakan hanyalah harga kebutuhan semakin mencekik sementara peluang untuk berusaha semakin sempit. Bagi rakyat kecil data-data yang dimunculkan ekonom-ekonom hanya sebuah angka, karena merekalah yang merasakan realita sesungguhnya.
Di daerah-daerah banyak orang berteriak kelaparan tak mampu membeli beras sehingga terpaksa makan nasi aking, ubi jalar hutan dan hal lainnya yang sebetulnya tidak layak sebagai konsumsi. Sehingga kita lihat ada ibu yang meninggal bersama anaknya karena kelaparan, di serang ibu membunuh anaknya sendiri karena takut anaknya menderita, di daerah lain pun terjadi hal yang serupa, bunuh diri merupakan jalan singkat melarikan diri dari persoalan hidup yang makin menghimpit. Di sisi lain Indonesia berbangga hati karena hasil pertanian surplus 600 ton tahun 2008 ini, bahkan menteri perdagangan sudah berseiap untuk mengekspor surplus tersebut. Saya menjadi heran dan bertanya-tanya, mengapa beras berlebih tersebut tidak menjadi cadangan saja atau didistribusikan saja ke rakyat miskin dengan harga murah? Karena saya curiga, jangan-jangan surplus 600 ton tersebut terjadi karena banyak rakyat yang tidak mampu membeli beras dan beralih ke ubi jalar, nasi aking seperti yang telah saya sebutkan di atas. Beruntung menteri pertanian masih berpikir rasional dan tidak nafsu melakukan ekspor, menilik harga komoditas ekspor yang semakin meroket dan mengancam ketahanan pengan kita tahun-tahun kedepan.
Tahun demi tahun berlalu, pemimpin berganti-ganti tapi perubahan tidak tampak secara nyata dan signifikan. Pemimpin datang dan pergi sesuka hati seperti lirik lagu dari grup band Letto. Pemimpin-pemimpin yang ada bersifat sama dari tahun ke tahun, bersikap manis dan berjiwa pahlawan saat masa kampanye, dan berubah menjadi seorang pelupa saat berkuasa, lupa terhadap janji-janjinya semasa kampanye dalam keberpihakannya kepada rakyat. Mungkin mereka lupa, siapa yang dulu memilih mereka dan menaruh harapan mereka di pundak-pundak orang yang mereka pilih.
Mungkin kita butuh pemimpin super seperti Ahmadinejad atau Eva Morales. Mungkin negara mereka belum sehebat cina ataupun jepang, namun dengan munculnya mereka timbul harapan di benak rakyat. Kita lihat bagaimana keberanian Eva Morales dalam menasionalisasikan perusahaan-perusahaan strategis di bolivia, atau Ahmadinejad yang dengan tegas berani menentang egala intervensi asing termasuk Amerika. Kedua pemimpin tersebut memiliki hal yang serupa, yaitu ketegasan dan keberanian apa yang kita sebut sebagai kepentingan rakyat. Dengan demikian, meskipun negaranya tidak semaju negara lain rakyat negara tersebut tetap mendukung dan mencintai pemimpinnya.
Siapapun yang akan terpilih pada pemilu 2009 nanti mungkin akan menjalankan tugas maha berat. Rakyat tidak melihat lagi latar belakang para pemimpin, apakah dia mantan jendral, orang sipil atau teknokrat-teknokrat yang ahli di bidangnya. Rakyat hanya ingin seorang pemimpin yang memihak kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan pribadi atau golongannya. Berpihaklah pada rakyat wahai para pemimpin!, jangan takut menghadapi rintangan, jangan takut menghadapi kekuasaan asing!, jangan takut mengeluarkan kebijakan yang memihak rakyat meskipun hal tersebut merugikan beberapa golongan elit, karena sesungguhnya ketika 235 juta rakyat Indonesia berada di belakangmu tidak ada yang perlu engkau takutkan!.

